Advertisement

Sifat Qanaah dan Syukur akan Nikmat Allah (Catatan Pengajian Syarah Hikam Bersama Abi Zahrul di Masjid Alfalah Sigli)

Pengajian bulanan bersama Abi Zahrul,  9 September 2023.  Di sini Al-Faqir berkesempatan untuk menulis beberapa catatan.

Orang yang memiliki sifat ketamakan pada hakikatnya budak. Hamba itu dikatakan merdeka selama dia memiliki sifat qanaah. Makna qanaah adalah sifat tenang ketika  kita tidak memiliki sesuatu yang pernah kita miliki.

Qanaah adalah tangga pertama untuk mencapai Zuhud. Orang zuhud meskipun memiliki segalanya, tapi lebih memprioritaskan sesuatu yang dibutuhkan saja. Harta hanya sebatas menjadi sarana untuk lebih dekat kepada Allah Swt.

Bukan berarti kita tidak lagi berusaha semangat untuk mencapai prestasi,  mencapai cita cita atau  kekayaan tertentu. Ini adalah peringatan kepada orang yang menghambakan diri atau menjadi  budak terhadap kekuasaan, kekayaan dan jabatan.

Selanjutnya apabila kita diberikan nikmat Allah tapi kita tidak dekat dengan Allah,  Allah memaksakan diri kita agar dekat kepadaNya dengan cobaan. Alhasil,  tidak ada lagi tempat mengadu dan  akhirnya seorang hamba akan mendekat dirinya lagi  kepada Allah.
وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ   ( النحل: ٤٩ )
Dan segala apa yang ada di langit dan di bumi hanya bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk bergerak (bernyawa) dan (juga) para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. (QS. An-Nahl : 49).

Ada dua faktor supaya manusia mau mendekat kan diri kepada Allah dan berpusat hatinya kepada Allah, yang pertama, Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba, semakin banyak nikmat maka seseorang bertambah rasa syukurnya kepada Allah.
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ( إبراهيم : 7)
Kedua adalah Allah turunkan musibah kepada badannya dan harta.
Orang yang tidak taat ketika Allah memberikan nikmat  kekayaan, malah semakin bertambah kekayaannya maka harus berhati hati, karena hal ini masuk katagori  istidraj.

Ibn Ataillah menambahkan:
ومن لم يشكر النعم فقد تعرض لزواله
Orang yang tidak mensyukuri nikmat maka ia telah menjadikan nikmat itu hilang. Ada sebuah ibarat;   Syukur itu  mengikat nikmat yang sudah ada dan memburu nikmat  yang belum ada.
Ada dua ayat yang sering salah dimaknai yaitu
وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِۚ
Fitnah yang dimaksud sini adalah  syirik,  maksudnya melakukan hal yang memempersekutukan Allah.
Satu lagi adalah ayat: 
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ ما بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا ما بِأَنْفُسِهِمْ (الرعد(11) 

Yang dimaksud disini adalah syukur, bukan ayat merubah nasib.

Selanjutnya bagaimana cara merealisasikan syukur.
Syukur adakala dengan hati (syukur qalbi).  Syukur dengan lidah yaitu nikmat dibicarakan bukan untuk memamerkan kepada orang lain. Maksudnya adalah pada tingkatan wali dalam keadaan musibah ia selalu menyebut "kami dalam keadaan baik" . Karena di balik musibah ada nikmat. Ia bukan membanggakan diri dengan nikmat. Kita selalu berkata "saya baik baik saja, segala puji bagi Allah"

Orang yang lupa dengan kebaikan orang lain yang sudah ribuan kebaikan  gara gara sekali dijahati maka ia tidak bersyukur. Begitu juga ketika Allah telah memberikan nikmat sekali Allah memberikan musibah, lalu kita lupa akan nikmat Allah lainnya. Ia bukan lah orang yang bersyukur.

Selanjutnya bersyukur dengan anggota tubuh (jawarih). Ini yang sulit dan jarang yang bisa menggunakannya.
Ketika kita bermaksiat kepada Allah tapi rezeki lancar maka takutlah karena itu istidraj bukan nikmat yang membuat Allah Ridha. Istidraj adalah cobaan dibalik sebuah anugrah. Ia menjadi bencana. Nikmat yang akan membawa sengsara.

Karenanya Ibn Ataillah mengingatkan kita takutlah akan kebaikan Allah kepadamu sementara engkau terus berbuat kemaksiatan. Tentang istidraj Allah sendiri yang berfirman.

Ciri perkara yang berpotensi istidraj seperti  tidak salat dalam keadaan sehat, tidak puasa tapi rezeki datang tanpa diduga. Sukses tapi bermaksiat. Wallahu 'alam.








Posting Komentar

0 Komentar