Advertisement

Hiduplah Seimbang dengan Tidak Memakai Celana Pendek


Mengawali tulisan di pertengahan Ramadan ini, saya ingin kembali mengulas hasil eksplorasi saya khususnya di seputaran Sigli, Pidie terkait fenomena laki laki bercelana pendek. 

Berbulan bulan, bertahun tahu  pemandangan ini terus kita lihat, di warung warung, di sekitar jalan. Anak anak muda berpakaian pendek. Dari sini betapa pendidikan keluarga itu sangat penting. Telah banyak lahir anak anak, generasi muda yang seperti tidak memiliki ayah dan ibu. 

Jika kita telusuri beberapa referensi berpakaian, celana atau kain dari bangsa bangsa besar dulunya. Terlihat bahwa bangsa Yunani; Bayi mereka biasanya tidak mengenakan pakaian, tapi terkadang mereka memakai popok kain Pada cuaca dingin, bayi tentu diberi pakaian lebih banyak. Anak-anak juga hanya mengenakan kain yang dililitkan di pinggang, mirip celana pendek.

Pria dewasa biasanya mengenakan khiton, yaitu kain dari wol atau linen yang dililitkan di tubuh dengan bagian bawahnya mencapai lutut. Seringkali khiton dipakai hanya menutupi satu bahu. Jika udara dingin, orang Yunani kuno memakai mantel di luar khitonnya. Mantel ini juga dapat digunakan sebagai selimut jika harus tidur di luar ruangan, misalnya saat pergi berperang. Orang Yunani kuno jarnag menutupi betis, sedangkan alas kaki mereka berupa sandal dari kulit meskipun banyak pula yang bertelanjang kaki. Dari sini terlihat bahwa pria dewasa Yunani tidak menggunakan celana pendek. 

Selanjutnya bangsa Romawi Kuno, bagi mereka telanjang adalah hal yang tabu. Namun, dalam sastra dan seni Romawi hanya para gladiator, budak dan masyarakat kelas rendah yang sering dijadikan model untuk membuat lukisan atau pahatan telanjang dan setengah telanjang.

Selama ini relief dan mozaik hanya menggambarkan buruh, atlet, dan gladiator yang digunakan sebagai petunjuk gambaran pakaian masa Romawi Kuno. 

Sebuah makam kuno yaitu 'Makam Eurysaces Bake' tepat di Roma menggambarkan budak yang bekerja di toko roti dengan dada telanjang dan menggunakan subligaculum (istilah cawat di Romawi Kuno). 

Cawat ini merupakan bagian dari bentuk perlindungan bagi buruh, atlet, dan gladiator, tetapi tidak dipakai secara teratur oleh orang-orang Romawi secara umum saat itu di bawah pakaian mereka.

Selama musim dingin, beberapa lapis pakaian, mantel, dan kaus kaki wol tebal mungkin sudah cukup untuk menjaga orang-orang menjadi hangat. Sejarawan Romawi, Suetonius mencatat bahwa Kaisar Agustus mengenakan empat lapis pakaian dan toga berat pada musim dingin, serta pelindung dada wol, singlet, dan subligaculum untuk membungkus tulang kering dan pahanya.

Dari sini terlihat bahwa celana pendek atau bertelanjang hanya dipraktikkan oleh jenis bangsa kelas rendah. Artinya semakin jahiliyah sebuah bangsa maka semakin telanjang  pakaian yang digunakan. 

Di Persia sendiri dalam referensi yang saya dapatkan, Persia telah pun mempraktikkan tradisional celana panjang. Tradisi ini kemudian menyebar hingga ke jazirah Arab. Artinya, celana panjang diprediksi sudah dikenal oleh orang Arab sebelum muslim menaklukkan Kekaisaran Sassaniyah, penguasa terakhir Persia pra-Islam. Selain busana dengan pengaruh Persia atau Yunani-Romawi, tentu ada busana khas Arab yakni yang dikenakan suku Badui, berupa kain pembungkus badan yang longgar (tidak ketat).

Orang Arab  sebelum Islam punya kebiasaan flamboyan menjuntaikan busananya sampai tanah. Puisi pada era pra-Islam sering mendeskripsikan kain seseorang yang diseret di tanah pada masa damai, masa sejahtera, dan saat pesta pora. Salah satunya adalah karya Amr bin Qami'a, yang meratapi masa mudanya yang hilang.

"Saat aku menyeret rayt (kain mewah dan halus sebagai aksesori) dan mirt (pakaian bawahan)-ku ke penjaja anggur terdekat seraya menyibakkan rambut ikalku," demikian penggalan puisi karya Qami'a.

Saya juga merangkum referensi dari bangsa pendatang di Selandia Baru, bahwa Celana pendek pernah digunakan di sana. Diperkirakan berasal dari celana pendek bor baggy khaki yang dikenakan oleh tentara Selandia Baru yang bertugas di Timur Tengah dalam Perang Dunia II . Pada 1950-an, serikat Asosiasi Layanan Publik Selandia Baru mengajukan petisi kepada Komisi Layanan Negara untuk mengizinkan pekerja memakai celana pendek. Akhirnya Komisi mengizinkan staf untuk memakai celana pendek "putih, abu-abu atau coklat kekuningan", yang kemudian dilonggarkan untuk memungkinkan mode warna dan cetakan pada saat itu. 

Celana walk short tidak lagi umum dipakai di Selandia Baru tetapi dianggap sebagai barang ikonik Kiwiana. Artinya celana pendek digunakan  orang kafir dulu semasa Perang dunia. Pasca itu, ia telah menjadi barang kuno. 

Terakhir, berita di India. Berawal dari cuitan hingga akhirnya membuat heboh jagat maya di India. Seorang pria berseteru dengan sebuah bank sektor publik karena dia masuk memakai celana pendek ke salah satu cabangnya. Pria itu teridentifikasi dengan nama depannya Ashish di akun Twitter- nya. Dia mengaku ditolak masuk di cabang State Bank of India (SBI) di kota timur Kolkata karena mengenakan celana pendek.

Dari eksplorasi berita tersebut, artinya dunia telah sepakat bahwa celana pendek adalah simbol kemudharatan, kebodohan dan ketertinggalan. Ibaratnya seperti melihat badut badut bodoh berkeliaran. Apalagi seorang muslim laki laki yang baligh dan berakal auratnya adalah antara pusat hingga lutut. Inilah salah satu keseimbangan hidup seorang laki laki muslim. 





Posting Komentar

0 Komentar