Advertisement

Energi dari Lameulo

Lameulo, tempat saya menghabiskan masa kecil di SD negeri 2, SD terbaik pada masanya dengan guru guru hebat. Hari ini Lameulo telah menjadi semakin manis dengan pertokoannya. Berjejer kedai kopi yang berpotensi menjadi Cafe de la Paix istilahnya dalam buku Penumpang Gelap. (Jika tidak tenggelam dengan judi chip). 


Bagi saya Ia tetap menjadi kenangan, manakala naik labi labi Nagoya Lameulo -Mali seolah mempertemukan pasar ini dengan negeri Sakura. Saban hari Labi-labi yang dipadati murid SD hingga SMA saling berkejar kejaran. 

Satu hal yang menjadi energi dari Lameulo adalah ambisi. Ambisi untuk menjadi apa dan siapa. Energi ini ada karena ada tokoh hebat di sini dari politisi, ulama hingga pengusaha-pengusaha di sekitarnya. 

Di sini saya pernah menemani ayah yang sempat mengelola warung kopi, keude Kupi Rakan, dekat penjara Lameulo, berhari dan bermalam ramai yang duduk jep kupi di sini. Menerobos hujan di kelam malam, Lameulo- Mali. Di sini saya mengenal anak SD Tionghowa, namanya Chung Chung dan Choi Choi, mereka bersaudara. Nama nama ini mengingatkan kepada  perdana menteri Singapura yang terkenal itu, Goh Cok Tong. belakangan jumpa juga dengan kerabat mereka yang sudah kental gen Acehnya di Bambi, Peukan Baro. 


Saya jadi membayangkan, betapa kompleksnya pergaulan itu di bangun di Lameulo, di SD saja ada dari negeri Padang, Jawa,  hingga China. 

Justru ini lah hal hal positif nya. Jadi terbiasa  mendengar anak anak berbicara bahasa ibunya. Lameulo dan sekitarnya telah mengajarkan  belajar menjadi bagian masyarakat dunia dalam skala kecil.  

Jika kita kehilangan ambisi, maka kembalilah ke Lameulo, ada energi yang mesti diambil, buang segala hal yang berbau negatif darinya, yang tersisa perjuangan hebat orang orang tua dulu, Hasballah M Saad, Hasan Tiro, dan laki-laki pemberani, cerdas juga bandel yang terhormat di masanya. 

Lameulo tetap selalu menjadi energi untuk berambisi kepada cita cita positif. Iringan qasidah burdah dan lam yahtalim


harus terus mengiringi masyarakatnya sebagai energi besar dan ekspresi cinta kepada Baginda Rasulullah. 

Mengenang Lameulo maka seperti mengingat kembali salah satu Diwan imam Al Syafii: 

إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ المَاءَ يُفْسِدُهُ     

إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang. 


Inilah pesan mulia agar tidak menjadi air yang tergenang (ie leubeueng) jika tidak maka kita selalu merasa besar, paling hebat dan sifat durhaka lainnya. Dari itu Lameulo mengingatkan untuk tidak stagnan dan terus berambisi untuk belajar, memperbaiki kualitas diri. 

Bukankah energi; ambisi yang membuat Futuhat dalam Islam berjaya, strategi Rasul dalam dakwah 23 tahun, Mekkah-Madinah, Futuhat Persia hingga Romawi dibangun dan selalu diwarnai dengan ambisi positif. Karena itu jika hidup tanpa ambisi maka seperti burung terbang tanpa sayap. Pada akhirnya Lameulo adalah ingatan agar kita mesti terus melangkah menjadi bagian dari masyarakat dunia. 












Posting Komentar

0 Komentar