Advertisement

Kafaah Perkawinan, agama dan status sosial

Pada masa sekarang, keadaan masyarakat sudah begitu heterogen,  akibatnya pernikahan sudah terjadi lintas  daerah bahkan lintas negara, ditambah dengan konsep nation state di berbagai  belahan Negara di dunia. Beberapa waktu lalu, ada sahabat saya yang melangsungkan pernikahan lintas negara. Dari sini kita bisa melihat, perubahan sosial juga akan diikuti oleh perubahan hukum itu sendiri.   Artinya penemuan hukum dalam pengadilan  mesti terus berdimanika, mempertimbangkan keadaaan sosial yang dimaksud. Dalam kaca mata pengadilan sendiri, menetapkan hukum bukanlahah menerapkan teks hukum semata, melainkan menerapkan esensi hukum pada setiap kasus yang dihadapi agar tujuan dan fungsi hukum tercapai. 

Secara hukum formal, para hakim biasanya lebih mempertimbangkan kafaah dalam hal agama saja, hal ini termaktub pula dalam KHI. Dari beberapa kasus,  dapat dilihat bahwa aturan kafaah perkawinan tidak melihat kepada status sosial lintas pasangan. Dalam hal ini memang terjadi perbedaan para fukaha, sebagian ulama klasik, diantaranya ulama malikiyah lebih menekankan kafaah dalam hal agama, hal ini merujuk kepada anjuran Rasul kepada sebagian sahabat untuk menikah dengan wanita bangsawan.

Sebagian fukaha lain seperti dalam mazhab Hanafi dan Hambali melihat bahwa status  sosial,kondisi, profesi, kemakmuran harus menjadi pertimbangan. Keadaan ini dimaksudkan agar terwujudnya persamaan dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan kehidupan suami istri, serta mewujudkan kebahagiaan diantara suami istri. Tidak membuat malu  perempuan atau walinya dengan perkawinan sesuai dengan tradisi (Wahbah Zuhayli, 2007).

Dalam beberapa kasus, seharusnya perkawinan antara Syarifah  sepandan jika menikah dengan Sayid, namun praktik kafaah nasab tersebut belumlah tegas.  Misalnya kasus seorang Syarifah yang datang ke pengadilan karena adanya ayah yang tidak mau menikahkannya dengan non Sayid. Akibatnya hakim memposisikan ayahnya sebagai wali adhal.  Lain halnya di Yaman, kafaah sayid dan syarifah begitu diperhatikan, ia telah menjadi  sebuah living law yang kuat. Adanya kasus perkawinan Syarifah-non Sayid bukan tanpa hujatan, tidak adanya ketegasan hukum dalam hal ini dapat menimbulkan stigma dan cara pandang yang beragam lintas masyarakat. Agaknya perlu mempertimbangkan dan merumuskan kembali aspek mashlahat-mafsadat dan maqasid al Syariah dalam  hal kafaah nasab, khususnya  perkawinan sayid-non sayid-syarifah. Bahwa penemuan hukum oleh para hakim dapat terjadi dengan mempertimbangkan aspek sosial dalam masyarakat, juga syariat mewajibkan penjagaan terhadap nasab. Wallahu 'alam.


Posting Komentar

0 Komentar