Secara hukum formal, para hakim biasanya lebih
mempertimbangkan kafaah dalam hal agama saja, hal ini termaktub pula dalam KHI.
Dari beberapa kasus, dapat dilihat bahwa
aturan kafaah perkawinan tidak melihat kepada status sosial lintas pasangan. Dalam hal ini memang terjadi perbedaan para
fukaha, sebagian ulama klasik, diantaranya ulama malikiyah lebih menekankan
kafaah dalam hal agama, hal ini merujuk kepada anjuran Rasul kepada sebagian sahabat
untuk menikah dengan wanita bangsawan.
Sebagian fukaha lain seperti dalam mazhab
Hanafi dan Hambali melihat bahwa
status sosial,kondisi, profesi, kemakmuran harus
menjadi pertimbangan. Keadaan ini dimaksudkan agar terwujudnya persamaan
dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan kehidupan suami istri, serta
mewujudkan kebahagiaan diantara suami istri. Tidak membuat malu perempuan
atau walinya dengan perkawinan sesuai dengan tradisi (Wahbah Zuhayli, 2007).
Dalam beberapa kasus, seharusnya perkawinan antara Syarifah sepandan jika menikah dengan Sayid, namun praktik kafaah nasab tersebut belumlah tegas. Misalnya
kasus seorang Syarifah yang datang ke pengadilan karena adanya ayah yang tidak
mau menikahkannya dengan non Sayid. Akibatnya hakim memposisikan ayahnya
sebagai wali adhal. Lain halnya di
Yaman, kafaah sayid dan syarifah begitu diperhatikan, ia telah menjadi sebuah living law yang kuat. Adanya
kasus perkawinan Syarifah-non Sayid bukan tanpa hujatan, tidak adanya ketegasan
hukum dalam hal ini dapat menimbulkan stigma dan cara pandang yang beragam
lintas masyarakat. Agaknya perlu mempertimbangkan dan merumuskan kembali aspek
mashlahat-mafsadat dan maqasid al Syariah dalam hal kafaah nasab, khususnya perkawinan sayid-non sayid-syarifah. Bahwa penemuan
hukum oleh para hakim dapat terjadi dengan mempertimbangkan aspek sosial dalam
masyarakat, juga syariat mewajibkan penjagaan terhadap nasab. Wallahu 'alam.
0 Komentar